Pengertian Fingerprint
Beberapa
film bertema action kerap merekam adegan salah seorang karakter sedang
membuka semacam kotak atau ruang rahasia tempat penyimpanan senjata. Bukan
dengan memasukkan kode angka, dia hanya perlu menempelkan jari tangan dan pintu
pun terbuka.
Di dunia
nyata, teknologi pemindai sidik jari atau fingerprint recognition
sebenarnya sudah jamak digunakan sebagai "benteng pertahanan"
data-data penting. Sistem keamanan ini tidak mudah dibobol, karena tak ada
manusia memiliki pola sidik jari sama.
Wajar saja,
banyak produk smartphone mulai mengaplikasikan fitur fingerprint
sebagai kode akses mengaktifkan ponsel. Berbeda dengan sistem angka atau pattern,
orang tak bisa meniru sidik jari.
Sebenarnya,
jauh sebelum ramai disematkan pada ponsel pintar, teknologi fingerprint
dikembangkan pertama kali untuk kepentingan Biro Penyelidik Federal (FBI) di
Amerika Serikat.
Pada 1969
FBI bekerja sama dengan Institut Nasional Standar dan Teknologi (NIST) membuat
sistem identifikasi berbasis sidik jari. Enam tahun kemudian, protitipe pertama
pun dipamerkan institusi tersebut. Nah, kalau pada smartphone, seperti
apa teknologi ini diaplikasikan?
Membaca pola
Secara
sederhana fingerprint bekerja dengan "merekam" sidik jari
seseorang, lalu menyimpan pola khasnya. Identifikasi dilakukan dengan
mencocokkan data yang telah tersimpan tersebut. Jika dinyatakan sama, akses
otomatis terbuka.
Pertanyaannya,
bagaimana mesin pemindai "membaca" pola sidik jari?
Sidik jari terdiri dari banyak garis menonjol yang cenderung melingkar-lingkar. Hal ini bisa terlihat jelas, salah satunya ketika kita membuat cap jari menggunakan tinta untuk surat-surat resmi.
Dari situ
bisa dilihat, satu sidik jari saja memiliki banyak pola rumit. Jika semua pola
ini digunakan, proses identifikasi sidik jari akan memakan waktu terlalu lama.
Sebaliknya, jika pola yang diambil terlalu sederhana, kemungkinan pemindaian
kurang akurat.
Sebagai
solusi, mesin pemindai hanya menangkap dan menyimpan tiga jenis pola pada
guratan sidik jari. Pola diambil dari bagian yang pada hasil cap jari tintanya
terlihat lebih tebal.
Pola itu di
antaranya, ujung garis (ridge ending), garis bercabang (bifurcation),
dan garis pendek menyerupai titik (short ridge). Tiga detail pada sidik
jari ini tak pernah ditemui sama pada manusia.
Pola sidik
jari selalu berbeda pada setiap orang.(https://en.wikipedia.org/wiki/Fingerprint_recognition)
Untuk memindai, mesin membutuhkan sensor. Jenis sensornya juga beragam. Optis atau optical fingerprint imaging, misalnya, memanfaatkan cahaya saat merekam pola sidik jari.
Cara kerjanya mirip mesin fotocopy.
Jari
diletakkan di atas sebuah scanner—biasanya berbahan kaca. Lalu, dari
bawah scanner, pemancar cahaya menerangi permukaan ujung jari. Pantulan
cahaya kemudian ditangkap alat penerima sehingga foto sidik jari pun didapat.
Sayangnya,
teknik ini memiliki beberapa kekurangan. Pola sidik jari yang didapat sangat
bergantung pada kondisi kulit telapak jari. Jika jari kotor atau kulit sedang
terkelupas, misalnya, pemindai bisa saja gagal mengenali sidik jari.
Akibat
kekurangan tersebut, ponsel pintar lebih memilih menggunakan sensor ultrasonik
atau kapasitans (capacitive). Sensor ultrasonik, sesuai namanya,
memanfaatkan gelombang ketika memindai sidik jari seperti pada ultrasonografi
(USG) yang kerap digunakan untuk keperluan medis.
Hasil
pemindaian sidik jari dengan sensor tersebut sudah berkualitis tiga dimensi
(3D) sehingga kemungkinan pemalsuan lebih rendah. Identifikasi menggunakan
sensor ultrasonik juga tak bergantung pada kualitas kulit jari.
Lain cerita jika menggunakan sensor kapasitans. Sistem ini menggunakan alat elektronik semacam kapasitor untuk memindai sidik jari. Kapasitor menyimpan muatan listrik yang disambungkan dengan piringan konduktif pada layar smartphone sehingga bisa digunakan melacak detail sidik jari.
Muatan
listrik pada kapasitor akan sedikit berubah saat bagian garis menonjol pada
sidik jari ditempelkan pada piringan konduktif. Sementara itu, antar sela garis
yang menonjol hampir tidak berpengaruh terhadap kapasitor. Dari sini, citra
sidik jari pun didapat.
Berdasarkan
penjelasan di atas, proses identifikasi fingerprint memang terlihat
lebih rumit dibanding kode angka atau pattern. Tapi, sistem ini sangat
memudahkan pengguna smartphone. Tak perlu mengingat kode, pengguna cukup
menempelkan jari dan akses smartphone pun terbuka.
Wajar,
permintaan ponsel pintar yang dilengkapi fitur tersebut makin merajalela.
Produsen ponsel pun semakin bersemangat menempelkan teknologi fingerprint
pada produk mereka.
Lembaga
peneliti pasar elektronik, HIS Technology, menyatakan tahun 2015 produksi
sensor fingerprint untuk ponsel, tablet, dan notebook terus meningkat
dari 316 juta unit pada 2014 menjadi 499 juta. Jumlah ini diperkirakan
meningkat menjadi 1,6 miliar unit tahun 2020.
Namun, pada
awal perkembangannya, aplikasi teknologi fingerprint masih didominasi smartphone
kelas atas berharga tinggi. Kini, sudah ada ponsel pintar kelas menengah dengan
harga Rp 2 jutaan turut dipersenjatai sistem sama.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar